Riya Dalam Beribadah – Ibadah adalah wujud penghambaan seorang hamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Setiap amal saleh yang kita lakukan seharusnya murni karena mengharap ridha-Nya. Namun, ada satu penyakit hati yang sering kali tidak disadari, yaitu riya. Riya dalam beribadah merupakan sikap beramal bukan karena Allah semata, melainkan ingin dipuji, diperhatikan, atau mendapatkan pengakuan dari manusia. Penyakit ini bisa merusak pahala dan bahkan membuat amal yang kita lakukan menjadi sia-sia.
Dalam Islam, riya dianggap sebagai salah satu dosa besar yang sangat berbahaya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahkan menyebut riya sebagai syirik kecil, karena menodai ketauhidan seorang hamba. Untuk itu, penting bagi kita memahami apa itu riya, tanda-tandanya, dampaknya, serta bagaimana cara menghindarinya agar ibadah kita tetap ikhlas hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

A. Apa Itu Riya dalam Ibadah?
Secara bahasa, riya berasal dari kata ra’a yang artinya melihat. Dalam konteks ibadah, riya berarti memperlihatkan amal kebaikan dengan tujuan agar orang lain mengetahuinya. Dengan kata lain, seseorang melakukan ibadah bukan semata karena Allah, tetapi demi mendapatkan pujian atau perhatian dari manusia.
Contoh sederhana riya dalam ibadah misalnya:
- Seseorang shalat dengan khusyuk hanya ketika dilihat orang lain, namun tergesa-gesa saat sendirian;
- Bersedekah dengan jumlah besar tapi niat utamanya agar dipuji sebagai dermawan;
- Membaca Al-Qur’an dengan suara merdu hanya untuk mendapatkan sanjungan.
Hal-hal seperti ini menunjukkan betapa halusnya penyakit riya. Bisa jadi seseorang merasa sedang beribadah, tetapi sejatinya hatinya tidak lurus kepada Allah. Inilah sebabnya para ulama menekankan pentingnya muhasabah diri dalam setiap amal.
Baca Juga: Ini Dia Adab-adab Menuntut Ilmu dalam Islam
B. Bahaya Riya
Riya bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan bisa menghapus pahala ibadah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
“Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al-Ma’un: 4–7).
Dari ayat ini, jelas bahwa riya sangat dibenci oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan orang yang shalat pun bisa celaka jika niatnya bukan karena Allah.
Bahaya riya dalam ibadah antara lain:
- Menghapus pahala amal – Amal yang tercampur riya tidak diterima Allah.
- Menjerumuskan pada syirik kecil – Karena dalam hatinya, seseorang menyekutukan Allah dengan manusia.
- Membentuk sifat munafik – Orang yang riya menampilkan wajah saleh di depan manusia, padahal hatinya jauh dari keikhlasan.
- Menyebabkan hati gelisah – Mereka yang riya selalu ingin mendapat pengakuan, sehingga hatinya tidak pernah tenang.
C. Tanda-Tanda Riya dalam Beribadah
Riya sering muncul tanpa kita sadari. Berikut beberapa tanda yang bisa menjadi bahan introspeksi:
- Merasa semangat beribadah saat dilihat orang lain – Namun ketika sendirian, ibadah menjadi malas atau asal-asalan.
- Ingin dipuji atau dikenal sebagai orang saleh – Misalnya merasa senang ketika disebut rajin shalat atau gemar bersedekah.
- Kecewa jika amal tidak diketahui orang lain – Misalnya bersedih ketika kebaikan kita tidak dihargai.
- Lebih mementingkan penampilan ibadah dibanding kualitasnya – Misalnya memperindah suara saat membaca doa agar terdengar merdu, bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Jika tanda-tanda ini ada pada diri kita, berarti kita perlu segera memperbaiki niat. Sebab riya dalam beribadah bisa masuk kedalam amal terkecil sekalipun.
Baca Juga: Perbedaan Syirik Khafi dan Jali yang Harus Diketahui
D. Cara Menghindari Riya dalam Beribadah
Riya adalah penyakit hati, dan obatnya adalah melatih keikhlasan. Ada beberapa cara untuk menjaganya:
- Meluruskan niat sejak awal
Sebelum beramal, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk siapa saya melakukan ini?” Jika jawabannya bukan Allah, luruskan kembali niat. - Menyembunyikan amal kebaikan
Jika memungkinkan, lakukan amal secara sembunyi-sembunyi. Misalnya bersedekah tanpa diketahui orang lain, atau berdoa dalam keheningan. - Tidak peduli pada penilaian manusia
Ingat bahwa pujian manusia tidak memberi manfaat, begitu juga celaan tidak merugikan jika kita benar disisi Allah. - Memperbanyak doa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan doa agar terhindar dari syirik kecil. - Mengingat balasan Allah lebih besar dari pujian manusia
Balasan Allah kekal, sedangkan pujian manusia hanya sementara.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa menjaga hati agar tetap ikhlas.
E. Riya dalam Beribadah di Era Media Sosial
Di zaman modern, riya juga bisa muncul dalam bentuk yang lebih halus. Misalnya, ketika seseorang memposting sedekah atau ibadahnya di media sosial hanya untuk mendapat likes dan komentar. Padahal, jika niatnya tidak ikhlas, amal itu bisa hilang nilainya dihadapan Allah.
Namun, tidak semua berbagi kebaikan di media sosial tergolong riya. Jika tujuannya untuk memberi inspirasi atau motivasi agar orang lain ikut berbuat baik, maka itu bernilai pahala. Bedanya terletak pada niat. Karena itu, penting bagi kita selalu mengecek hati sebelum membagikan sesuatu.
F. Pentingnya Ikhlas dalam Ibadah
Ikhlas adalah kunci diterimanya amal. Tanpa ikhlas, ibadah hanya menjadi gerakan kosong. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).
Kalimat ini menegaskan bahwa nilai ibadah bukan pada besarnya amal, melainkan pada ketulusan hati. Orang yang ikhlas tidak peduli dilihat atau tidak, dipuji atau dicela, karena tujuan utamanya hanya Allah.
Oleh karena itu, menjaga keikhlasan adalah pekerjaan seumur hidup. Kita harus terus melatih hati agar tidak terjerumus pada riya dalam ibadah.
Baca Juga: Patut Ditiru! Sikap Teladan Umar bin Khattab
Riya adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia bisa menghapus pahala dan membuat ibadah kita sia-sia. Oleh sebab itu, setiap Muslim harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam riya dalam ibadah. Cara menghindarinya adalah dengan meluruskan niat, menyembunyikan amal jika memungkinkan, serta selalu berdoa agar dijauhkan dari syirik kecil.
Mari kita berusaha menjadikan setiap ibadah murni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Dengan begitu, amal kita akan bernilai disisi-Nya dan membawa kebahagiaan didunia maupun akhirat.

Sebagai orang tua, kita juga memiliki kewajiban menanamkan nilai ikhlas kepada anak-anak sejak dini. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pendidikan berbasis Islam yang menekankan akhlak dan keimanan. Untuk itu, menyekolahkan anak-anak di KB, TKIT, maupun SDIT Fitrah Tunas Bangsa bisa menjadi langkah terbaik. Disana, anak-anak tidak hanya belajar ilmu umum, tetapi juga dibimbing untuk menjaga hati, menghindari riya, dan tumbuh sebagai generasi yang berakhlak mulia.
Baca Juga: 7 Dosa Besar yang Tidak Diampuni Allah Meski Bertaubat.